Sumber: freepik.com |
Oleh: Fathimatuzzahroh
Penulis merupakan Mahasiswa Semester 4
Indonesia merupakan negara yang majemuk. Salah satu bukti konkret dari gagasan tersebut adalah keanekaragaman agama. Terhitung ada enam agama resmi yang diakui oleh negara, diantaranya adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha, Hindu, serta Khonghucu.
Pelegalan pada keenam agama di atas tidak dapat dimaknai bahwa agama-agama atau kepercayaan lokal yang lain tidak diperkenankan keberadaannya di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi bangsa tela menjamin adanya kebebasan untuk menganut keyakinan masing-masing, pernyataan ini termuat di dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat dan menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Konsekuensi dari pemberlakuan pasal tersebut salah satunya adalah eksistensi penganut Yudaisme atau agama Yahudi di berbagai wilayah di Indonesia.
Agama Yahudi selain merupakan agama monoteistik, ia juga termasuk ke dalam agama abrahamik. Agama abrahamik merupakan agama yang memiliki kesamaan ajaran serta memiliki jejak historis dengan ajaran yang bersumber dari Nabi Ibrahim a.s. [1] Agama Yahudi merupakan permulaan lahirnya dua agama abrahamik berikutnya, yaitu Nasrani dan Islam. Pokok ajaran Yudaisme adalah Tauhid yaitu meng-Esakan Tuhan, Sang pencipta sekaligus penyelamat mereka dari kekejaman penguasa Mesir. Kitab agama Yahudi adalah Taurat, kitab yang diturunkan kepada Musa. kitab Taurat tidak hanya membuat bangsa Yahudi mengetahui siapa Tuhan mereka, tetapi juga menumbuhkan pemahaman tentang hakikat dari alam semesta. [2] Walaupun dari skala kuantitas umat Yudaisme masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan penganut agama-agama besar seperti Islam ataupun Kristen.
Namun, persebaran penganut Yudaisme dewasa ini sudah menjangkau hampir ke setiap sudut Bumi mulai dari benua biru Eropa, Amerika, hingga Asia termasuk Ibu Pertiwi, Indonesia.
Secara historis, pemeluk agama Yahudi datang secara rombongan dari Belanda ke Indonesia sekitar tahun 1800-1930 M. [3] Mereka kemudian menyebar ke beberapa daerah, seperti Manado, Tiku, Baros, Surabaya, Padang Panjang, Sawahlunto, dan Bukittinggi. Sampai saat ini, eksistensi dari para penganut Yudaisme di Indonesia masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan daerah. [4] Kendati demikian, pemerintah Indonesia berangkat dari pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tetap memperbolehkan adanya aktivitas keagamaan termasuk untuk kaum Yudaisme.
Keterbatasan data terkait kaum Yudaisme di Indonesia menjadi salah satu hambatan dalam mengkaji dan mengulik lebih dalam eksistensi mereka. Hal ini diperparah dengan masih kentalnya stereotipe masyarakat Indonesia yang kerap kali memandang sebelah mata para keturunan Yahudi yang tinggal dan menetap di sini. Setelah meletusnya Perang Dunia ke-II, banyak dari pemeluk agama Yahudi yang memutuskan untuk beralih keyakinan, di antara mereka ada yang memeluk agama Islam dan sebagian yang lain memilih untuk berpaling ke agama Kristen.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang Yahudi banyak melakukan interaksi dengan masyarakat lokal, dan dari sana keturunan-keturunan bangsa Yahudi mulai merebak. Umat Yudaisme di Indonesia masih sering melakukan prosesi ritual-ritual keagamaan mereka, sebagai contoh penganut agama Yahudi yang ada di Manado. Terdapat setidaknya dua aliran Yudaisme yang tumbuh di sana, yaitu aliran Ortodoks dan aliran gabungan Ortodoks dan Liberal. [5]
Yudaisme aliran Ortodoks murni dalam pelaksanaan ibadatnya dilakukan dengan sangat ketat, misalnya saja di hari Sabat yang dimana pada hari itu terdapat larangan untuk melakukan segala aktivitas dan semua keperluan untuk Sabat dilaksanakan pada hari Jum'at. [6] Para penganut aliran ini yaitu orang-orang yang merupakan keturunan Yahudi tersebar di beberapa daerah, seperti Jakarta, Manado, dan Surabaya. [7] Di ranah kelembagaan, aliran Ortodoks memiliki sebuah yayasan yang dikhususkan untuk mengelola Sinagog Beth Hashem (rumah Tuhan). [8] Kemudian aliran kedua, yaitu gabungan Ortodoks dan Liberal. Aliran Liberal yang terdiri atas tiga sub-aliran (Conservative, Reform, serta Recontractionist) terhimpun di dalam sebuah organisasi yang bernama The United Indonesia Jewish Community (UIJC). [9] Prosesi peribadatan aliran ini cenderung fleksibel dalam artian disesuaikan dengan kemampuan dan pemahaman pemeluknya, serta tidak menuntut keharusan seperti pada aliran Ortodoks murni. [10]
Di abad ke-21 ini, Yudaisme di Indonesia tidak sepopuler saat masa kolonial, selain karena Perang Dunia ke-II, sentimen-sentimen masyarakat Indonesia kepada mereka menjadi faktor semakin terkikisnya keberadaan kaum Yudaisme di negara ini. Bahkan pada beberapa kasus, terlibat serangan fisik yang dilakukan oleh masyarakat kita terhadap para pemeluk agama Yahudi, seperti yang terjadi pada tahun 2009 di Surabaya. Perlakuan-perlakuan buruk tersebut yang pada akhirnya membuat sebagian besar dari mereka memilih untuk meninggalkan Indonesia dan menetap di negara lain.
Ketidakmampuan dalam membedakan gerakan zionisme yang dilakukan oleh orang-orang Israel atas Palestina dan penganut Yudaisme harus segera ditanggulangi agar para pemeluk agama Yahudi dapat melakukan ritual peribadatan serta aktivitas sehari-hari dengan tenang dan aman.
DAFTAR PUSTAKA
Amri Muhammad. 2018. Sejarah, Teologi, dan Kebudayaan Yahudi. Yogyakarta: Glosaria Media.
Andika Andika. 2022. Aliran-Aliran Dalam Agama Yahudi. Jurnal Studi Agama-Agama, 2 (1), 53.
Zarman Romi. 2015. Komunitas Yahudi di Sumatra’s Westkust. Jurnal Suluah, 15 (19), 140.
Editor: Muhammad Wildan Najwanuddin