Oleh: Rifky Andreans, S.Ag
Pagi ini terasa dingin, Sophie masih berbaring di tempat tidurnya, matahari masih sayup keluar dari rahim ibu kandung, sekuntum mawar masih layu dari peraduannya. Di pekarangan rumah, sekuntum bunga melati indah semerbak tumbuh tenang di tengah rekan-rekannya, berayun ria di antara aneka bunga lainnya. Merifatlah sang Sophie, ia masih mengelus-ngeluskan kelopak mata membersihkan di setiap sela-sela kelopak mata dari kotoran yang mengganggu penglihatannya, ia masih belum tersadarkan, bahwa dirinya masih tetap sama gadis desa yang disebut sebagai “kembang desa”. Di kalangan pemuda, Sophie menjadi bahan perebutan bagi pemuda desa, masyarakat pun mengenal dirinya dengan sebutan “putri malu”. Putri malu dinisbatkan pada dirinya, dikarenakan matanya buta dan ia memiliki rasa malu yang tinggi. Wajar saja jika masyarakat mengenal dirinya dengan sebutan putri malu, dikarenakan Sophie kembang desa yang parasnya sangat cantik, rona dan pipinya menggambarkan dirinya yang pemalu, juntaian rambut yang tertata rapih membangunkan suasana syahdu jika memandang wajahnya. Sophie masih mengharapkan doa yang kemarin ia gumamkan sebelum pergantian malam:
“Tuhan, kalau aku menyebut dosa, karena aku bukan ahli surga,
kalau aku berdoa karena aku hamba,
berilah penglihatan kepadaku,
agar aku merasakan cinta dan rindu.”
Untaian doa tersebut masih terukir rapi di sanubari Sophie, hari ini adalah puncak di mana Sophie mengharapkan jawaban atas doa yang sudah dipanjatkan sebelum pergantian malam. Sophie masih bergumam:
“Karena aku hamba, aku mencintai-Mu,
maka aku bangunkan sekuntum bunga di dalam diriku,
kubiarkan perihku sebagian dari kesetiaanku,
karena aku mencintai-Mu,
maka kubiarkan ruhku mengembara,
kepada burung, kutitipkan kasmaranku, ke cakrawala,
biarpun pada akhirnya segala cintaku berujung kesia-siaan di salib kediaman-Mu,
maka kabulkan doaku, wahai Tuhan.”
Sophie terlamun panjang, dari sela-sela kelopak matanya berlabuh-lah air mata, mendung pengharapan, mengisi penuh ruang sanubari dan pikiran, ia melupakan bait yang tersirat dengan kenafsuan.
“Tuhan, aku ingin sedingin batu-batu, yang diam menatap-Mu,
kesunyian yang tumbuh bangkit dari punggung embun,
dan mengembara menyalami angin dan udara,
malam telah mengubah bintang-bintang dan langit bersujud pada bumi,
yang menyimpan cahaya pagi.
Matahari bertahan siang dan malam berebut tempat dengan bulan yang pendiam,
mataku yang gelap ingin segala menggapai secercah sinar,
tapi kau tak kunjung bersinar? Tuhan.”
Sophie masih duduk di atas ranjang, sedangkan sekuntum melati di pekarangan mulai bercumbu pada alam, mahkotanya dihiasi manik-manik embun, ia mengangkat kepalanya, bagaikan obor menyala di atas Jamrud, semerbak wanginya pekat tercium oleh bunga lainnya.
Sophie mulai berhalusinasi:
“Tuhan jika Kau tak hadirkan penglihatan,
setidaknya Kau hadirkan mimpi dalam tiduran,
pantaskah hamba-Mu yang buta ini, mendapatkan mimpi dan kerinduan?”
Di bilik jendela ada seorang pemuda yang mengintip Sophie, dan ia berujar:
“Tuhan, jika Sophie jodohku, maka jodohkanlah, walaupun ia buta selamanya,
wahai sang Putri Malu.”
Tamat.
Penulis merupakan alumni jurusan IAT
Editor: Nurfadilah