Oleh: Tsamrotul Fuady
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam,
mengimaninya adalah sebagian dari rukun iman. Ia adalah kalam Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril dengan
versi dan variasi bacaan/qira’at yang berbeda-beda. Sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Bukhari: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf,
maka bacalah (Al-Qur’an) itu yang mudah darinya.”[1]
Adanya variasi bacaan dalam Al-Qur’an
merupakan karunia Allah SWT yang diberikan secara khusus kepada umat Nabi
Muhammad SAW sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT agar mudah dalam pelafalan
dan membacanya. Dalam kajian Islam, studi tentang variasi bacaan Al-Qur’an
dikenal dengan Ilmu Qira’at Al-Qur’an.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat
menerima bacaan Al-Qur’an secara langsung dari beliau dan mereka secara
sistematis dan serius mempelajarinya dengan berbagai variasi bacaan/qira’atnya. Pada masa ini lahirlah ahli qira’at (qurra’) dari kalangan sahabat Nabi,
seperti:
·
Ubay Bin Ka’ab
·
Abdullah Bin Mas’ud
·
Abu Al-Darda’
·
Utsman Bin Affan
·
Ali Bin Abi Thalib
·
Abu Musa Al-Asy’ariy
·
Zaid Bin Tsabit[2]
Para ahli qira’at Al-Qur’an dari kalangan sahabat ini dalam mempelajari dan mendalami qira’at Al-Qur’an memiliki
kemampuan yang berbeda-beda; ada yang mempu menguasai satu atau dua versi
bacaan, ada yang menguasai tiga versi bacaan dan bahkan ada yang lebih dari
itu.[3]
Sepeninggal Nabi, para sahabat berpencar untuk
hijrah ke berbagai belahan dunia Islam. Ada yang ke Syam, seperti Abu
Al-Darda’, ada yang ke Kuffah seperti Ibnu Mas’ud dan Sayyidina Ali. Para ahli
qurra’ dari kalangan sahabat mengajarkan bacaan Al-Qur’an dengan berbagai versi
yang mereka terima dari Nabi kepada generasi tabi’in. Dari para sahabat inilah
kemudian para tabi’in memiliki dan menguasai versi qira’at yang berbeda-beda
pula.
Setelah masa Sahabat berlalu, para ahli
qira’at dari generasi tabi’in mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan versi dan
variasi qira’at yang mereka dapatkan dari para sahabat.
Namun demikian, dalam perjalanan sejarah,
muncul bacaan/qira’at Al-Qur’an yang diragukan dan diduga tidak bersumber dari
Nabi. Hal ini disebabkan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam dan semakin
banyak penduduk Islam dari luar kalangan bangsa Arab yang tidak mengetahui
Bahasa Arab.[4]
Oleh karena itu, pada pertengahan kedua abad
pertama hijriah dan pertengahan awal abad kedua hijriah, para ulama ahli
qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai versi dan variasi
qira’at Al-Qur’an yang berkembang pada waktu itu. Dari hasil penelitian yang
dilakukan secara selektif dan akurat, disimpulkan bahwa terdapat tujuh versi
qira’at yang populer dan dilestarikan oleh para Imam qira’at karena bacaan/qira’at tersebut mutawatir, bersumber dari Nabi. Bacaan populer inilah kemudian
dikenal dengan sebutan “qira’at sab’ah”.[5]
Tujuh qira’at/qira’at sab’ah ini kemudian
dinisbatkan (disandarkan) kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh, yaitu:
·
Imam Nafi’ Bin Abdurrahman (w. 169 H)
·
Imam Abdullah Bin Katsir (w. 120 H)
·
Imam Abu Amr, Zabban Bin Al-Ala’ Al-Bashriy (w. 154 H)
·
Imam Abdullah Ibnu Amir Al-Syamiy (w. 118 H)
·
Imam Ashim Bin Abi Al-Najud Al-Kufiy (w. 128 H)
·
Imam Hamzah Bin Al-Zayyat (w. 156 H)
·
Imam Ali Bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 189 H)
Selain tujuh imam di atas, Imam Al-Jazari
menambahkan tiga imam lain, yang menurut hasil penelitiannya, ketiga imam
tersebut setara dengan tujuh imam di atas, dalam hal standar transmisi sanadnya
maupun bacaan/qira’atnya. Ketiga imam tersebut adalah:
·
Imam Abu Ja’far Bin Yazid Al-Qa’qa’
Al-Madani (w. 130 H)
·
Imam Ya’qub Bin Ishaq Al- Hadhrami
Al-Bishri (w. 205 H)
·
Imam Khalaf Bin Al-Bazzar Al-Asyir (w. 189 H)
Penisbatan qira’at Al-Qur’an kepada nama para imam qira’at bukan berarti qira’at tersebut merupakan hasil ijtihad mereka
(hasil karya dan rekayasa mereka). Ungkapan seperti Qira’at Nafi, Qira’at Ibnu
Katsir, Qira’at Ashim, dan yang lain, hanya menunjukan bahwa qira’at yang
dinisbatkan kepada mereka adalah hasil penelitian dan seleksi (ikhtiyar) mereka
terhadap berbagai qira’at yang ada. Kemudian mereka menggunakan bacaan/qira’at hasil penelitian tersebut secara rutin dan berkesinambungan membaca,
mengajarkan, dan melestarikannya hingga bacaan/qira’at tersebut dikenal luas
oleh masyarakat sebagai bacaannya. Meskipun pada hakikatnya bacaan tersebut
bersumber dari Nabi SAW.
Oleh karena itu, penisbatan qira’at kepada
para imam qira’at sama halnya dengan penisbatan hadits Nabi kepada Imam
Bukhari, Imam Muslim, atau Imam Al-Tirmidzi. Apabila disebutkan hadits Bukhari,
Muslim, atau Tirmidzi, maka sependek pengetahuan kita menyimpulkan bahwa hadits
tersebut bukan hasil karya dan rekayasa para imam tersebut. Namun, para imam
tersebut hanya menyeleksi dan meriwayatkannya. Demikian pula qira’at Al-Qur’an
yang dinisbatkan kepada imam qira’at.
Penulis merupakan mahasiswa IAT semester 5
Editor: Nurfadilah
[1]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Idar Al-Tiba’at
Al-Muniriyyah, tt, juz 6) 227
[2]Abdul Hadi Al-Fadhliy, Al-Qira’at Al-Qur’aniyat: Tarikh
Wa Ta’rif, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1985) 18.
[3]Abdul Adzhim Al-Zurqaniy, Manahil Al-Irfan Fi Ulum
Al-Qur’an, (Mesir: Isa Al-Halabiy, tt, juz 1) 406.
[4]Ibnu Al-Jazari, Al-Nasyr Fi Al-Qira’at Al-Asyr, (Mesir:
Dar Al-Fikr, tt,) 9.
[5]Manna’ Al-Qatthan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut:
Mansyurat Al-Ashr Al-Hadits, 1973) 131.