sumber gambar: mantrapandeglang.com |
Oleh: Adittya Irawan
“Priit!” Suara peluit pria berbaju kuning itu membuat kami bersorak, karena kami baru saja memenangkan pertandingan sepak bola sehingga di sekelilingku banyak orang yang bersuka ria, diriku diselimuti rasa bahagia yang luar biasa. Namun aku melihat Arya yang terus memegang kepalanya seakan dilanda kesakitan yang tak tertahankan. “Ada apa dengan si Ronaldo ini?,” gumamku di dalam hati. Setelah aku mendekati Arya dan hendak memegang lengannya, “Uhuk!” Tiba-tiba saja darah keluar dari mulutnya. Sontak aku berteriak dan terbangun dari tidurku, “huh, ternyata hanya mimpi,” aku mengatur nafasku yang sempat tak teratur. “Mengapa aku memimpikan Arya mengeluarkan darah? Ada apa dengannya? Apakah dia baik-baik saja?” “Sudahlah, itu hanya mimpi, bunga tidur," hatiku menjawab sendiri.
Arya adalah sahabatku yang berasal dari Kalimantan, pertama kali aku mengenalnya ketika kami satu kamar waktu di pondok pesantren, pada akhirnya acara kelulusan yang memisahkan kami dan sampai sekarang belum pernah bertemu kembali. Tetapi di zaman sekarang tidaklah seperti dulu, berkomunikasi jarak jauh memakai surat yang membuat si pengirim dan si penerima menunggu sampai timbul rasa rindu. Saat ini, pengiriman pesan super cepat dan siap tanggap dengan fitur yang lebih menarik. Chatting, voice note, dan video call sangatlah mudah, asalkan adanya smartphone dan kuota tentunya. Dengan begitu, aku bisa menghubungi siapapun dan kapanpun.
Sekarang adalah waktu yang tepat menghubungi Arya, tak banyak pikir apakah dia sibuk atau tidak, langsung saja aku meneleponnya, tak lama menunggu, dia mengangkat panggilanku. Aku mengawali percakapan “Assalamu’alaikum bro! gimana kabarnya?" “Wa’alaikumsalam! Wey! Alhamdulillah bro!” Arya menjawab dengan semangat khasnya sampai telingaku rombeng. Kami berdua asyik mengobrol tentang seputar kehidupan diikuti obrolan canda tawa, sampai pada akhirnya di ujung percakapan Arya akan mengunjungiku dua bulan kedepan.
Satu bulan berlalu, seperti biasa nyanyian burung di pagi hari menjadi alasan semangat dalam menjalani hari-hari ini. “Wan, bangun.. masa kamu kalah sama burung,” bisik Ibu dengan lembut ke telingaku, itu dulu. Sekarang tampaknya burung lebih bebas dari manusia, lebih tepatnya kita dikurung di dalam sebuah aturan untuk tidak berkeliaran. Adapun keluar hanya untuk hal penting saja demi menyelamatkan dunia dari penularan virus ini, khususnya untuk kita, bangsa Indonesia.
Seperti tamu yang tak diundang, wabah ini tiba-tiba datang. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja merenggut nyawa banyak orang, beredar di mana-mana persentase orang yang terpapar, meninggal, untungnya juga banyak orang yang sembuh. Televisi, radio, dan media sosial membicarakan naik turunnya kasus virus ini. Akibatnya Arya tak bisa menyukseskan agendanya untuk datang ke rumahku karena aturan pemerintah ini. Wabah ini takkan berakhir dalam jangka waktu yang singkat. Namun, usaha dan do’a tetap harus terus kupanjatkan agar wabah ini cepat berlalu.
Kondisi yang membatasi ruang gerak masyarakat ini membuat mereka berhenti melakukan produktivitas. Sebagai mahasiswa, aku harus produktif dari rumah, “ya apalagi kalau bukan menulis." Aku melatih hobi yang satu ini sembari mendengarkan musik, lebih membuat pikiranku terbuka, nada-nada indah itu mengalir dari telinga ke hati sehingga membuatku rileks.
Tiba-tiba saja suasana itu pecah dengan nada dering telepon yang agak berisik. “Aduh, siapa sih?,” dan kulihat ternyata ibunya Arya. Pertama kali dalam sejarah ibunya Arya menghubungiku, sebelumnya memang aku kenal baik dengan ibunya ketika aku di pondok dan beliau sering melongok anaknya satu semester sekali. “Iya ada apa Bu?” Tanyaku. “Nak Iwan, Ibu mau minta bantuan Nak...” Terdengar nada memelas, di situ aku semakin penasaran, “iya Bu, selagi saya bisa pasti saya akan bantu Bu” jawabku agar meyakinkannya bahwa aku bisa membantu. Dengan nada penuh kecemasan dia menjawab, “anak ibu, Arya, dia positif covid dan dia sekarang butuh tambahan darah orang yang sudah terkena covid sebelumnya nak, aduh gimana ini…”
Seketika saja aku melongo mendengar kabar tersebut, lalu terlintas di benakku seorang Arya yang bergolongan darah O, golongan darah terlangka di antara golongan darah lainnya. Ibu dari sahabatku itu sangat khawatir akan keadaan anaknya, pasalnya dia tidak bisa bertemu dengan anaknya sendiri. “Boro-boro ngelongok, bandaranya juga ditutup, walaupun bisa tetap saja gak bisa ngobrol, dia kan di ruang isolasi." Ibunya Arya kemudian memberi tahu alamat dan nomor telepon rumah sakit kepadaku, Arya kini berada di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Selepas panggilan telepon berakhir dengan begitu saja tanganku refleks mengetik status di WhatsApp, Facebook, dan Instagram, memang hanya itu sosal media yang sering aku gunakan. Tersebar pesan “Assalamu’alaikum, tolong kalau ada saudara/teman/tetangga yang golongan darahnya O dan sudah pernah terkena covid tolong kabari saya, terima kasih,” dengan di bawahnya tertulis "@tas nama Iwan Setiawan 08812xxxx…” Menyebar ke seluruh kawasan dunia maya tak terkecuali kawasan dunia nyata tentunya yang menjadi objek utama penelusuran, “hmmm…tapi kayaknya di daerahku aman-aman saja."
Seharian ini aku sibuk menyebarkan pamflet di medsos, kulihat banyak orang yang membagikan kirimanku dan banyak juga orang yang respect di kolom komentar. “Semoga Allah memberikan kesembuhan dan segera mengangkat wabah ini” “yang sabar ya mas, ujian ini pasti berlalu..” Ada juga yang mengingatkan akan protokol kesehatan. “Ini menjadi pembelajaran bagi kita untuk lebih hati-hati dan tetap mematuhi protokol kesehatan..” Dan masih banyak lagi respon yang beragam namun tetap dalam satu tujuan kebaikan.
Hari sudah mulai gelap, meskipun begitu bukan berarti waktunya berhenti untuk berharap. “Sebelum kabar baik datang… Aku pantang berbaring di atas kasur!” Niat itu terbentuk atas kecemasanku, kadang aku berfikir yang aneh-aneh tapi itu hanya jelmaan syetan yang mencoba merenggut harapan anak Adam.
Benar saja, sebelum hari berganti ada seseorang mengirim pesan dengan kata salam yang agak asing di telinga. “Shalom, maaf.. Apakah benar ini dengan Pak Iwan?” Benih harapan itu terkadang sangat cepat tumbuhnya. “Iya betul, maaf, ini dengan siapa ya?,” pesan balasanku kepadanya.
“Perkenalkan saya David, saya dapat kabar dari teman saya bahwa ada orang yang sangat membutuhkan darah O yang sudah terkena covid, kebetulan itu semua ada pada diri saya." Pertolongan Sang Maha Kuasa terasa adanya, obrolan itupun dilanjutkan ke jenjang perteleponan.
Sungguh, dia relawan yang baik hati. Pria itu adalah seorang pemuda asal Surabaya, Jawa Timur. Dia rela menempuh perjalanan panjang demi menyelamatkan sahabatku, bukan hanya perjalanan di atas aspal saja yang ia tempuh, perjalanan persuratan pun siap dilaluinya demi kemanusiaan.
Alhasil, semuanya berjalan dengan lancar. Arya mendapatkan pertolongan medis dari pemuda itu. Hambatan itu pasti ada, tetapi pasti ada jalan keluar yang akan membuat anda terkejut. “Alhamdulillah…”
Penulis merupakan mahasiswa IAT semester 5
Editor: Nurfadilah