Oleh: Tsamrotul Fuady
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an mempunyai adab tersendiri bagi orang yang membacanya. Adab tersebut sudah diatur dengan baik demi menjaga keagungan dan penghormatan terhadap Al-Qur’an. Setiap orang yang hendak/tengah membaca Al-Qur’an harus memperhatikan adab-adab tersebut. Di antara adab-adab yang dimaksud ialah:
Pertama, Al-Qur’an harus dibaca dengan tartil sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. dalam Surah Al-Muzzammil (73) ayat 4:
اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ ( المزّمّل/73:4)
Terjemah Kemenag 2019
"atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan." (Al-Muzzammil/73:4)
Ilmu Tajwid merupakan washilah (perantara) bagi seseorang agar dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil
Kedua, bagi orang yang mengerti arti dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, disunnahkan membacanya dengan penuh perhatian dan perenungan akan maksud ayat tersebut. Cara membaca seperti inilah yang dikehendaki, yakni tatkala lidah bergerak membaca, hati turut memperhatikan serta memikirkan isi kandungan ayatnya. Allah SWT. berfirman:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا ( النساۤء/4:82)
Terjemah Kemenag 2019
"Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (An-Nisa'/4:82)
Rasulullah SAW. sering menangis tatkala membaca Al-Qur’an karena meresapi ayat yang tengah dibacanya. Demikian pula dengan para sahabatnya R.A. banyak yang mengucurkan air mata ketika membaca ayat-ayat Allah SWT. yang menggambarkan nasib yang akan ditanggung oleh orang-orang yang berdosa.
Ketiga, disunnahkan membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan bagus sehingga menambah keindahan Al-Qur’an. Rasulullah SAW. Bersabda:
زَيِّنُوا الْقُرأَنَ بِأَصْوَاتِكُمْز (رواه أحمد)
"Hendaklah kalian menghiasi Al-Qur’an dengan suara kalian (yang merdu)." (H.R Ahmad)
Membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu tetap wajib memperhatikan berbagai kaidah-kaidah dalam ilmu tajwid. Jika seseorang mempelajari seni membaca Al-Qur’an dengan tujuan agar dapat menghiasi Al-Qur’an lewat alunan suaranya yang merdu, maka ilmu tajwid menjadi syarat baginya sebelum ia mendalami seni tersebut. Adalah naif bila seorang qari membaca Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu dan irama yang indah tetapi cara membacanya salah, sehingga yang terjadi bukanlah menghiasi Al-Qur’an melainkan merusak Al-Qur’an.
Keempat, sangatlah baik sebelum membaca Al-Qur’an kita berwudhu terlebih dahulu, karena kita hendak membaca kitab suci yang agung. Tatkala membaca, mulut pun hendaknya dalam keadaan bersih/tidak berisi makanan. Lebih baik lagi jika kita menggosok gigi terlebih dahulu. Namun demikian tidak terlarang hukumnya membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadas kecil/tidak dalam keadaan berwudhu.
Imam Al-Haramain mengatakan bahwa orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan berhadas kecil, tidak dikatakan berbuat makruh tetapi ia hanya meninggalkan sebuah keutaman. Adapun yang diharamkan membaca Al-Qur’an sedikit/banyak adalah orang yang berhadas besar, seperti dalam keadaan junub/haid. Walaupun demikian menurut Imam An-Nawawi, orang tersebut diperbolehkan meresapi bacaan Al-Qur’an tanpa melafadzkan dengan lidahnya. Boleh juga bagi orang yang berhadas besar tersebut melihat mushaf dan membacanya dengan hati tanpa menggerakkan lidah.
Kelima, disunnahkan membaca Al-Qur’an di tempat yang suci dan bersih. Dengan kata lain, janganlah membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih, kotor, atau hina. Asy-Sya’bi berkata, “Adalah makruh jika membaca Al-Qur’an pada 3 tempat: kamar mandi, tempat buang air besar/kecil, dan tempat penggilingan yang sedang berputar.” Sedangkan menurut Abu Maisarah, “Tidaklah dikatakan mengingat Allah SWT, kecuali di tempat yang baik.”
Membaca Al-Qur’an di jalanan tidak terlarang asalkan bacaan Al-Qur’annya tidak terganggu atau menjadi kacau. Jika terjadi gangguan/kekacauan, sebaiknya tidak dilakukan Rasulullah SAW. melarang orang yang mengantuk membaca Al-Qur’an karena dikhawatirkan melakukan keresahan.
Keenam, disunnahkan membaca Al-Qur'an di luar shalat dengan menghadap kiblat, karena sebaik-baiknya tempat beribadah adalah menghadap kiblat. Seiring dengan itu, pembaca Al-Qur’an hendaknya duduk dengan tenang, penuh kekhusyukan, dan menundukkan kepala pertanda khidmat. Inilah sikap yang paling mulia dan sempurna.
Namun demikian, membaca Al-Qur'an sambil berdiri, berbaring, atau tiduran, tetap diperbolehkan dan berpahala. Allah SWT. berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ١٩٠ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ( اٰل عمران/3: 190-191)
Terjemah Kemenag 2019
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka." (Ali 'Imran/3:190-191)
Ketujuh, sebelum memulai bacaan, disunnahkan membaca Isti’adzah dan Basmalah terlebih dahulu. Maksudnya adalah dalam rangka meminta perlindungan Allah SWT. supaya dijauhkan dari tipu daya setan, sehingga hati dan pikiran tetap tenang saat membaca Al-Qur’an. Niat dan amalan kita juga harus diluruskan semata-mata mengharap berkah-Nya. Perhatikan dalil-dalil berikut ini:
فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْم ( النحل/16: 98)
Terjemah Kemenag 2019
"Apabila engkau hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk." (An-Nahl/16:98)
كُلُّ أَمْرٍ ذَيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ. (رواه داود)
"Setiap urusan yang tidak dimulai dengan Bismillah akan terputus (berkahnya)." (H.R. Abu Dawud)
Tergolong sebagai perbuatan bid’ah membaca Al-Qur’an dengan dinyanyikan dalam bentuk tar’id (suara pembacanya menggelegar bagai halilintar atau memekik seperti kesakitan), tarqish (seperti orang bernyanyi sambil menari), tathrib (seperti orang bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya), dan tardid (membaca Al-Qur’an yang diikuti jamaah pada setiap akhir bacaan dengan cara yang tidak tepat karena tidak mengindahkan aturan waqaf dan ibtida’-nya).
Kedepalan, ketika membaca Al-Qur’an, perut terasa ingin buang angin/mulut terasa hendak menguap, maka hentikanlah bacaan Al-Qur’an sejenak untuk menyelesaikan hajat tersebut. Jika telah sempurna, barulah bacaan Al-Qur’an dilanjutkan kembali (ibtida’) dari tempat yang cocok dan baik. Inilah adab yang bagus.
Kesembilan, janganlah memutuskan bacaan Al-Qur’an sembarangan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain/memenuhi hajat yang tidak mendesak. Tetapi hentikanlah bacaan sampai pada batas ayat/lafadz Al-Qur’an yang sempurna dan tidak tergolong sebagai waqaf qabih.
Demikian beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan adab membaca Al-Qur’an. Sebenarnya masih banyak adab-adab lainnya yang tidak dibahas di sini. Kajian lengkap mengenai adab-adab membaca Al-Qur’an dapat dilihat langsung dalam kitab At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an karya Imam An-Nawawi R.A.
Penulis merupakan mahasiswa IAT semester 5
Editor: Nurfadilah