fisipol.uma.ac.id |
Sebagai khalayak media kita juga sebagai warga Indonesia yang mempunyai hak pilih mendapatkan informasi tentang Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilukada yang umumnya tidak dari kontak langsung dengan para calon atau politisi, melainkan melalui media, misalnya, televisi, surat kabar, majalah, website, radio, dan lain sebagainya. Bagi para politisi, media massa tersebut dipakai dan diberdayakan demi suksesnya pelaksanaan kampanye dan demi keberhasilan kandidat untuk mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin sehingga kandidat tersebut bisa menjadi terpilih. Media massa sungguh mempunyai kekuatan yang penting bagi keberhasilan dalam merebut hati khalayak. Meraih sebanyak mungkin pemilih dan memenangkan simpati khalayak merupakan tujuan akhir komunikasi dan kampanye politik.
Selain itu, penggunaan media massa tidak saja untuk mengumpulkan sebanyak mungkin suara pemilih melainkan juga untuk mengumpulkan dana bagi pelaksanaan kampanye dan komunikasi politik secara umum. Dalam proses komunikasi politik, agenda besar dari demokrasi tentunya adalah pemilu, baik itu pemilu legislatif maupun eksekutif (kepala daerah/presiden). Menjelang pemilu 2014 seperti saat sekarang ini, tidak heran bila begitu riuhnya hiruk-pikuk perpolitikan di negeri ini yang sudah dirasakan jauh-jauh hari. Seolah tidak ada yang lain lagi isu di negara kita ini, walaupun ada, namun nuansa politis sangat kental mengisi berbagai media saat sekarang ini. Begitu kuatnya aroma intrik politik dalam media massa saat sekarang ini terlihat berbagai isu dan kampanye hitam (black campaign) saling serang antar partai bahkan antar caleg itu sendiri. Pemilu 2024 memang kurang dari beberapa bulan lagi, sudah banyak parpol atau calon legislatif tertentu yang sudah memilih media untuk komunikasi, sosialisasi atau kampanye. Mereka mulai berebut simpati massa melalui berbagai pendekatan, teknik dan metode komunikasi. Semuanya mendadak menjadi baik hati, soleh secara religius, dan lebih perhatian terharap rakyat.
Menjelang pemilu adalah masa saatnya kampanye di mana setiap parpol atau calon melakukan pendekatan pada massa untuk menarik dukungan. Roger dan Storey (dalam Venus, 2004: 7) memberi pengertian kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Pesan kampanye sifatnya harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung kebaikan untuk publik bahkan sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umum (public interest).
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam politik. Dalam komunikasi politik, media massa adalah sarana dan aspek utama yang harus diperhatikan. Berbagai metode dan kegiatan komunikasi seperti pemberitaan, iklan, kampanye, propaganda, public relations, dan lainnya, sebagai bagian dari proses komunikasi politik cukup dominan menghiasi media massa. Padahal komunikasi itu sendiri mestinya harus dibangun jauh-jauh hari, hal ini sesuai dengan prinsip komunikasi adalah proses. Memang secara umum proses kampanye dalam pemilu interaksi politik berlangsung dalam tempo dan suhu politik yang semakin meningkat menjelang pemilihan. Setiap peserta melakukan komunikasi dan berkampanye untuk meyakinkan para pemberi suara/konstituen, bahwa kelompok partai, kandidat atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk menang dan terpilih. Tidak heran bila umumnya saluran yang paling dominan digunakan untuk komunikasi politik mereka adalah media massa.
Pada dasawarsa yang lalu banyak teoritis komunikasi masih memandang media massa sebagai komponen komunikasi yang netral. Pada waktu itu berlaku asumsi bahwa media apapun yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi tidak akan mempengaruhi pemahaman dan penerimaan pesan oleh masyarakat. Lalu bagaimanakah realitas media akhir-akhir ini atau saat ini sebagai alat komunikasi politik jelang pemilu? Apakah media mampu mempertahankan kenetralannya dalam pemilu? Saat ini sangat sulit menemukan media yang netral. Dalam sebuah negara yang demokratis sekalipun, media massa yang netral sangat sulit ditemukan. Tidak heran media massa yang ada, pun biasanya merupakan representasi dari kepentingan pemerintah atau partai politik tertentu. Kita bisa mengambil contoh bagaimana Aburizal Bakrie dan Partai Golkar sangat sering muncul di media TVONE dan ANTV atau Surya Paloh dan Partai Nasdem di Metro TV. Begitu juga halnya Wiranto dan Hary Tanosudibyo dan Partai Hanura sangat sering muncul di televisi dan media lainnya yang di bawah kelompok MNC. Dari sini terlihat bahwa fungsi media dominan hanya melayani kepentingan pemiliknya. Dalam hal ini, McQuail (2011: 21) menjelaskan media massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu: (1) Sebagai pemberi informasi; (2) pemberian komentar atau interpretasi yang membantu pemahaman makna informasi; (3) pembentukan kesepakatan; (4) korelasi bagian-bagian masyarakat dalam pemberian respon terhadap lingkungan; (5) transmisi warisan budaya; dan (6) ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat.
Oleh karena itu, sesuai fungsinya media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Namun kenyataannya saat ini media lebih dominan menjalankan fungsi politiknya terkait dengan dekatnya masa pemilu tahun 2024, meskipun didominasi fungsi ekonomi media (mencari uang) tidak bisa diabaikan. Ini merupakan dilema media —termasuk para pekerja dan profesionalnya— untuk tidak memunculkan kesan yang terlalu menilai atau berpihak dalam masa menjelang pemilu. Oleh karena itu, masyarakat dalam menghadapi ini semua diharapkan tidak terjebak pada pilihan mereka karena dominasi media yang berkuasa. Karena persoalan pemilu bukan saja untuk kepentingan sesaat akan tetapi persoalan masa depan bangsa ini.
Penulis merupakan mahasiswa IAT semester 2