Ilustrasi Mahasiswa Qur'ani |
Oleh: Ahmad Royhan
Firdausy, M.Ag*
Islam mengakui
sistem regenerasi dalam kehidupan manusia. Berpedoman pada Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa akan datang suatu generasi untuk menggantikan generasi
sebelumnya (QS.al-An’am [6]: 165), (QS. Yunus [10]: 14 dan73), dan (QS. Fathir
[35]: 39). Hingga lahir generasi terbaik dan masa paling baik ialah Umat
Muhammad Saw. Seperti yang disebutkan oleh Muhammad Amin as-Sinqithi tentang
arti khalaifa al-Ardhi ialah terkhusus kepada Umat Muhammad yang menjadi
penanggung jawab atas seluruh isi bumi, kehidupan, harta-harta, agama dan
kehormatan manusia. Kendatipun semakin hari para generasi itu mulai kehilangan
integritasnya dan menampakkan wajah susuai prediksi dalam hadis Nabi Saw.
“Sebaik-baik
kalian adalah orang yang hidup pada masaku (sahabat), kemudian orang-orang pada
masa berikutnya (tabi’in), dan kemudian orang-orang pada masa berikutnya
(tabiut tabi’in). Setelah itu, akan datang orang-orang yang memberikan
kesaksian, padahal mereka tidak diminta kesaksian. Mereka berkhianat dan tidak
dapat dipercaya. Mereka bernazar tapi tidak melaksanakanya dan di antara mereka
tampak kegemukan (konsumtif dan hedonis)”. (Muttafaqun’Alaiah).
Kita tidak bisa
memungkiri adanya dekadensi moral dan disorientasi yang menimpa sebagian besar
insan milenial ini. Di zaman yang serba canggih nampaknya mencari orang yang
betul-betul dapat dijadikan tauldan dan dipercaya agak sulit. Hingga akhirnya
seruan ibda’ binafsik sangat tepat untuk dilakukan sesegera mungkin.
Pilihannya, mencari dan menunggu tauladan atau memulai dari diri sendiri untuk
menjadi tauladan.
Salah satu yang
memiliki peran penting bagi negara dan agama ini adalah mahasiswa; sang agen
perubahan. Kalau dianalogikan, dalam tubuh manusia itu ada hati maka di dalam
negara ini ada mahasiswa. Jika mahasiswanya baik maka seluruhnya akan baik
demikian juga jika mahasiswanya buruk maka semuanya akan buruk.
Mengapa
demikian? Coba kita lihat siapa yang mengisi setiap lini di negeri ini, tentu adalah
mereka yang lahir dari rahim perguruan tinggi. Mulai dari sektor pendidikan,
pemerintahan, perkantoran, pertanian, pembangunan, perdagangan, dan sebagainya.
Bayangkan jika yang menempati posisi tersebut adalah mahasiswa yang bermutu
pasti negara ini maju.
Lantas faktanya
sekarang bagaimana? Biarkan nurani kita masing-masing yang menjawabnya.
Karena itu, sudah
waktunya kita mengokohkan eksistensi kita sebagai mahasiswa yang diharapakan
perannya untuk kebaikan agama, negara dan bangsa. Membuktikan kepada dunia
bahwa kita belajar untuk menjadi modal memimpin manusia, menyebarkan kebaikan,
menyelasaikan perselisihan, menumbuhkan kerukunan dalam keragaman dan
melestarikan alam.
Faktor
determinasi kesuksesan mahasiswa adalah memanfaatkan dan memaksimalkan waktu
sebaik mungkin. Seorang mahasiswa dituntut mahir dalam mengatur skala prioritas
dan membidik sebuah peluang. Karena dunia kampus merupakan proses penanaman,
makanya siapa yang baik dalam menanam, disiplin, berani dan kreatif, maka ia
akan memanen hasil yang maksimal.
Betapa banyak
potret mahasiswa yang gagal juga sukses, coba telaah bagaimana aktivitasnya
selama kuliah, sebagaian besar dari mereka yang gagal adalah mereka yang tidak
bisa mengatur waktunya. Sebaliknya, mereka yang sukses adalah mereka yang mampu
memanfaatkan peluang dengan baik.
Merujuk kepada
Al-Qur’an, ada satu surat yang dapat dijadikan petunjuk agar mahasiswa sukses mengambil
perannya sebagai agen perubahan, ialah QS. al-‘Ashr: 1-3:
Ayat pertama
Allah bersumpah atas nama waktu (al-‘ashri/ad-dahr). Abu bakr Al-jazairi
memaknainya dengan waktu satu hari penuh; siang, malam, pagi dan sore. Apa yang
akan terjadi dengan waktu tersebut? Ayat yang kedua menjawab bahwa manusia
pasti akan merugi atau bahkan bisa celaka. Kalau konteksnya berkaitan dengan
mahasiswa maka seolah-seolah berarti 4 tahun sebagai kesempatan kuliah tersebut
menjadi penentu apakah ia akan sukses atau merugi. Tentunya, selama mengikuti
petunjuk yang ada pada ayat ketiga pasti ia akan sukses.
Apa saja
kandungan pada ayat terakhir tersebut? Sekurang-kurangnya ada komitmen yang
harus kita genggam erat-erat dan tanamkan sedalam-dalamnya, ialah, komitmen
spiritual, integritas, dan intelektual.
Komitmen
spiritual adalah usaha perseorangan dalam membangun koneksi yang bagus dengan
Tuhannya. Mahasiswa tidak boleh melepaskan diri aspek-aspek yang akan
membuatnya semakin jauh dengan Allah Swt. mulai dengan memperbaiki ibadahnya
juga kebersihan hatinya.
Komitmen
integritas adalah usaha perseorangan dalam menjalin hubungan baik dengan
sesamanya. Nilai yang paling nampak dari poin ini adalah akhlak, baik tindakan
maupun ucapan. Karena itu, sangat tidak patut kalau ada mahasiswa yang bersikap
arogan, gemar berdusta, sombong, suka memaki dan sebagainya. Apalagi di era
modern ini, para mahasiswa mestinya berada di garda terdepan untuk memerangi hoax,
ujaran kebencian dan berbagai tindakan yang merusak ketentraman masyarakat.
Komitmen intelektual
adalah segala yang berkaitan dengan tanggung jawab keilmuannya. Mahasiswa
dituntut untuk belajar dengan sungguh-sungguh, agresif, kreatif, dan aplikatif.
Pada puncaknya adalah mampu mengamalkan dan mendakwahkan apa yang sudah
dikonsumsinya dari berbagai cabang
keilmuan. Pada poin inilah peran mahasiswa itu dapat dirasakan.
Seorang
mahasiswa harus berani untuk tampil di masyarakat untuk berbagi apa yang sudah
dipelajari. Karena, sangat disayangkan jika ilmu-ilmu tersebut hanya bertumpuk
dalam lembaran dan terpaku pada sebuah teori saja, sedangkan orang-orang di
sekitarnya dibiarkan dalam kesesatan. Tentunya jalan dakwah yang dipilih ini
haruslah sejuk, damai, menginspirasi dan memotivasi.
Kesimpulannya,
bahwa mahasiswa memiliki peran penting bagi agama, negara dan bangsa.
Langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk ikut andil memberikan perubahan ke
arah yang lebih baik ini ialah dengan meningkatkan ibadah kepada Allah Swt. dan
kepedulian kepada sesama tanpa memandang latar belakang agama, aliran, organisasi
dan sebagainya. Jika hal sederhana tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh,
maka ia akan menjadi mahasiswa Qur’ani yang sanggup membumikan nilai-nilai
Al-Qur’an dalam kehidupan.
*Penulis merupakan alumni PP. Pasca Tahfizh Bayt Alqur'an PSQ Jakarta, dan Alumni Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta |