Ilustrasi Sayyidina Ali RA dan Mahatma Gandhi |
Miris, Dua sosok berjiwa besar yang lahir dengan latar belakang budaya, Agama dan zaman yang berbeda namun keduanya memiliki kontribusi tidak sedikit bagi negara dan agamanya, walaupun keduanya sama-sama keras kepala si ambil positifnya aja mungkin bentuk dari teguh pendiriannya, lupakan itu. Kembali, akhir hidup tragis harus menimpa keduanya, dibunuh, oleh siapa ? Benar, saudara seimannya, karena apa? Benar, dianggap berbeda dan salah mengambil keputusan. Seratan ini bukan untuk membandingkan keduanya, sama sekali tidak!. Lihat proses dan perannya bagi kemajuan peradaban sekitarnya sedangkan kita sudah buat apa?.
Nama lengkapnya Mohandas Karamchand Gandhi bergelar "mahatma" yang berarti berjiwa besar. Ia lahir di India dalam lingkungan keluarga yang terhitung elite dan taat pada tradisi Agama Hindu yang sangat kuat. Ya, nilai-nilai kebaikan agama Hindu yang dijunjung tinggi oleh keluarga Gandhi membentuk karakternya, yang nanti pada akhirnya gandhi merumuskan sebuah konsep besar hasil dari pengalaman dan perenungannya yang kemudian kita kenal dengan satyagraha-ahimsa (perjuangan kebenaran tanpa kekerasan ) memang begitulah sejatinya agama. Konsep ajaran tersebut ia gunakan untuk melawan kolonialisme inggris saat itu.
Pada tanggal 30 januari 1948 di New Delhi, India ketika hendak memimpin doa menjadi akhir perjalanan sang mahatma, ia tewas ditembak dengan pistol dari jarak dekat oleh seorang pria pengikut ekstrimis hindu bernama Nathuram Godse.
Atas jasanya dalam lingkar perdamaian dunia, pada tanggal 2 Oktober sekaligus bertepatan dengan hari kelahiran Gandhi akan selalu diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan Internasional yang diresmikan oleh PBB pada tanggal 15 Juni 2007.
Sayyidina Ali, siapa yang meragukan garis keturunan dan sanad keilmuannya ? Golongan anak-anak pertama yang masuk islam, hidup sangat dekat dengan Nabi, suami Sayyidah Fatimah serta bapa dari 2 cucu kesayangan Nabi, bahkan dikatakan juga oleh Ibn Abbas "Dalam menafsirkan Alquran saya belajar dari Ali Ibn Abi Thalib ". Di balik semua kemuliaan dan keluasan ilmunya beliau tetap pribadi yang sederhana dan bersahaja kepada siapapun, bahkan sampai dipenghujung hidupnya beliau berkata "Hukuman setimpal wajar dilaksanakan tapi memaafkan lebih hampir kepada ketakwaan ". Kalimat tersebut beliau lontarkan atas peristiwa yang menimpanya pada malam 17 Ramadhan tahun ke-40 Hijriah, pedang penuh racun tertancap tepat pada dahinya oleh lelaki yang dulunya ahli ibadah sekaligus sebagai pengajar Alqur'an, namun akhirnya membelot dan berkhianat, benar, dia Abdurrahman Ibn Muljam, Tiga hari setelahnya sayyidina Ali wafat. Tragedi memilukan dan menyedihkan untuk umat islam saat itu.
Pembunuhan terencana untuk dua orang sekelas Sayyidina Ali dan Mahatma Gandhi tentu memuat unsur politik, kenapa? Karena saat itu situasi pemerintahan sedang tidak baik-baik saja sehingga menjadi kontras orientasi peristiwa tersebut. Namun bukan itu poinnya.
Perangai bersahaja dari keduanya membuat saya terenyuh bahwa popularitas dan kemuliaan bukan muara akhir dari pencarian bernama ketaatan. Namun, memaafkan dan senantiasa berbuat baik kepada siapapun menjadi tepat untuk dilakukan dalam bingkai masyarakat dengan segala kemajemukannya, Indonesia contohnya, berat ? Memang, tapi itu yang harus dilakukan. Itu poinnya.
Sebuah Adagium.
" Hukuman setimpal menjadi wajar dilakukan namun memaafkan lebih hampir pada ketakwaan,". (Sayyidina Ali kw )
" Orang lemah tidak bisa memaafkan, karena pengampunan adalah atribut orang kuat",. (Mahatma Mohandas Karamchand Gandhi )
Allah selalu meridhainya, Sayyidina Ali.
God bless you, Gandhi.
Aamiin.
Selesai.
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Alqur'an dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon Semester IV